Laman

Tampilkan postingan dengan label guru sekolah dasar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru sekolah dasar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Mei 2013

"Lahirnya Pemimpin Semesta"

Ahmad Hudan Ro'isyi

Menjadi pemimpin merupakan cita cita setiap manusia. Bahkan di dalam keseharian kita dianjurkan untuk berdoa agar dijadikan pemimpin. Menjadi pemimpin merupakan social needs. Hal ini merupakan sebuah resiko hidup menjadi makhluk sosial. Kebutuhan menjadi seorang pemimpin berlaku dalam semua aspek.

Contohnya dalam tataran sosial, dalam tataran bisnis, dalam tataran keagamaan, dalam tataran entitas kebudayaan dan lain sebagainya. Walaupun dalam prakteknya seluruh tataran tersebut masuk dalam bingkai keagamaan, artinya disini agama mengambil peran yang signifikan untuk mengolah manusia menjadi pribadi pribadi unggul yang siap ditempatkan untuk berkontribusi ke seluruh tataran atau lapisan masyarakat.

Di dalam masyarakat sosialis sekalipun mereka masih membutuhkan value yang ujung ujungnya menjadi dogma mereka dalam bertindak di kehidupan. Value inilah yang menjadi energy sources untuk melakukan aplikasi kepemimpinan. Di dalam masyarakat yang meyakini agama dalam kehidupannya, value itu merupakan perasan dari ajaran keagamaan. Value itulah yang menjadikan dirinya bergerak dan mengaplikasikan kepemimpinan dalam mengelola kehidupan. 

Dalam sejarah keagamaan role model pemimpin itu dimulai oleh kakek nabi Muhammad SAW yakni Abdul Muthalib. Lihatlah peristiwa penyerangan Bakkah atau Ka’bah oleh Abrahah. Abrahah yang memulai misi penghancuran Bakkah itu awalnya dilandasi oleh sentiment keagamaan. Kecemburuan berpadu dengan semangat 'jihad' membela kebesaran agamanya, manakala usaha Abrahah yang mendirikan gereja terbesar di Yaman yang bertujuan untuk menjadikan yaman menjadi pusat peziarahan mengalahkan Bakkah kelak. Namun apa disangka bangunan gereja yang begitu besar dan indah itu ternyata tidak bisa mengalahkan pesona bangunan sederhana yang disebut Bakkah tersebut. Dari kecemburuan itulah lantas, ada semangat menyala nyala untuk menghapus Bakkah dari pikiran umat waktu itu dan mencoba mengalihkan seluruh perhatian umat ke gereja besar di Yaman. 

Epilog kepemimpinan itu dimulai manakala Abdul Muthalib hendak menemui raja Abrahah. Dimana diketahui sebelumnya 100 ekor unta milik Abdul Muthalib di rampas oleh pasukan abrahah. Ditunjukkannya kewibawaan abrahah ketika berkemah di padang gersang. Dengan beralas permadani terbaik yang  ia punya, memakai mahkota emas kebesaran, dan jubah kerajaan berjuntai dan bahkan tenunan yang halus berpadu dengan pakaian perang kerajaan. Di atas singgasananya pandangan Abrahah sedikit terganggu dengan seorang pemuda yang datang dari kejauhan dengan menunggang unta. Sosok yang jauh itu sedikit demi sedikit bergerak mendekatinya. Hingga sayup sayup terlihat jelas sosok pemuda yang amat menarik hatinya. Dia melihat cara dia menunggang, tegak tubuhnya, cara dia memperlakukan tunggangannya. Hingga turun dari tunggangannya dan berjalan ke arah singgasananya begitu jelaslah pesona kewibawaan sang Abdul Muthalib. 

Begitu seksama raja Abrahah melihat ke arah pemuda itu, perasaan terpukau dan terkagum akan liputan kewibaan yang begitu pekat dan jauh lebih tinggi daripada aksesoris yang ia pakai. sehingga ketika Abdul Muthalib berjalan kurang dari 5 langkah, secara reflek Abrahah bergegas bangkit dan melakukan salam penghormatan kepada Abdul Muthalib dalam rangka menghormati kebesaran beliau.

Lihatlah, apa yang dilakukan abrahah pada Abdul Muthalib adalah sesuatu yang jauh dari akal sehat kebanyakan. Bagaimana seorang raja dengan pasukan kavaleri, yang sanggup meluluh lantakkan kota makkah dan sekitarnya, ternyata diam tercekat begitu melihat pesona wibawa yang ditampilkan seorang masyarakat biasa laiknya Abdul Muthalib.

Semakin teranglah perkataan mulia imam Syafi’i dan muridnya, imam Ahmad bin Hambal, bahwa seseorang itu tidaklah tergantung dari pakaian yang ia kenakan. Namun tergantung pada siapa yang memakainya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hambal memiliki karisma kewibaan yang anggun terpatri dalam jiwanya. Siapapun yang membersamainya akan merasakan keteduhan, ketaatan selaku santri, dan kewibaan yang menggejolak. Dan mafhum sandangan yang kenakan begitu sederhana dan murah tidak lebih dari beberapa dirham saja.

Dari sini lantas kita bertanya tanya apa yang menjadikan pengaruh itu muncul dari seorang manusia? Bagaimana energy itu terbentuk dan menebar radiasi pengaruhnya pada orang lain ?

Menyeksamai perkataan Lao Tzu seorang tokoh pemikir dari China bahwa ada 3 elemen pengaruh akan memancar dari diri seseorang bila ditempa yakni :

1. Credibility

Akhir akhir ini sejumlah perusahaan besar mulai menanamkan unsur pertama ini kedalam value karyawan mereka. Didasari keyakinan bahwa bisnis yang mereka kelola sumber energy terbesarnya adalah konsumen. Maka pilar penting yang menghubungkan kegiatan bisnis mereka dengan konsumen adalah trusted. Trusted inilah yang mulai dibangun pelan namun pasti, semakin membentuk citra sebuah perusahaan menjadi perusahaan yang memiliki kredibilitas. Bila modal kredibilitas ini sudah dipunyai maka ditunailah apa yang disebut “sustainable entrepraise”. Perusahaan yang memiliki keuntungan terus menerus dan berdaya tahan lama. Bukan keuntungan menggiurkan namun sesaat sesudah itu hilang tak berbekas. 

Sudhamek AWS seorang CEO dari Tudung Group pernah mengatakan “Anda bisa jatuh berkali kali dalam hidup ! namun selama anda punya integritas yakinlah bahwa anda pasti bisa bangkit kembali”. 

Intergity itu adalah gabungan antara trusted + Credibility. Pantaslah rosulullah begitu lama bertahun tahun memegang predikat trusted itu. 

Kalaulah di BUMI Firdaus ini anda memiliki predikat trusted, maka kira kira kekuatan besar manakah yang hendak menghalangi? Jendral kah, Opini pemilik media kah, Ormas ormas penebar fitnah kah, tokoh tokoh politik kah atau pengusaha kah? Tidak ada yang sanggup menghalangi kekuatan besar Trusted. 

Kekuatan trusted ini adalah kekuatan NURANI yang menjadi RUH setiap manusia berhati kotor sekalipun. Kalaulah ada manusia yang melawan kekuatan nurani, maka sejatinya dia tengah melawan diri sendiri. Karena itu hanyalah tinggal menunggu waktu  sampai kapan dia sanggup melawan hati nuraninya sendiri. Nurani itu adalah fitrah ketuhanan yang dihembuskan Allah SWT kepada setiap hamba. Apapun agamanya, apapun sukunya, budaya, adatnya tidak ada yang sanggup menghilangkan fitrah fitrah kemanusiaan ini. sekali lagi kalaulah ada yang melawan nuraninya sendiri maka dia tengah melawah fitrah ketuhanan. Lantas siapakah yang menang bilamana dibenturkan 2 aspek ini ? tanpa harus menjawab….. yakinlah bahwa kita semua sudah mempunyai jawabannya.

2. Intimacy

Bisa diartikan kedekatan, kepedulian atau cara membangun hubungan yang harmonis antara seorang leader dengan konstituennya. Artinya hubungan yang terbangun antara pemimpin dan yang dipimpin itu bukanlah hubungan yang jumud, beku, statis. Namun penuh dengan kedinamisan. Disana akan kau dapati hati yang teraduk aduk syarat dengan emosi hingga cerita kehidupan bak laila majnun hingga tak sedikit air mata yang basah karenanya. 

Intimacy itu bukanlah hubungan timbal jasa seperti “no Pain no Gain”.  Hubungan yang dibangun itu mematahkan batas batas persaudaraan. Komunikasi yang dibangun itu tegak diatas jembatan ketulusan tanpa ada pencitraan atau sandiwara. Kerja mereka terstruktur, terukur, dan mempunyai time line yang jelas. Kerja kerja itu bukan mengacu pada persepsi public atau hasil survey. Ada atau tidak ada hasil survey maka kerja itu tetap dilakukannya. Untuk itulah kita lihat bagaimana tokoh sekaliber Mahat magandi, Bunda theresia telah mengukir namanya dalam sejarah keabadian.

3. Reability

Kecapakapan diperlukan di dalam semua aspek, di dalam level teoritis kadang orang sangat pandai namun ketika turun ke level praktis tidak sedikit yang kedodoran. Oleh karena itu disini diperlukan kapasitas sebagai seorang leader. Bila ranah kerjanya membutuhkan keahlian administrasi maka peran itu haruslah dilakoninya secara professional dan harus expert. Tidak boleh ada kata kata “ah saya belum siap” atau “saya belum menguasai” juga “saya belum PD”. 

Bila ditarik lebih luas lagi segmentasinya ke arah Provinsi, atau negara atau bahkan DUNIA tidak boleh ada kata kata negasi itu lagi. Buatlah persepsi akhir kepada diri anda sendiri, bahwa takdir kita adalah menjadi pemimpin dengan segmentasi meng “Global”. Lalu buatlah rancangan rancangan bangunan keilmuwan apa saja yang diperlukan untuk menyokong hal tersebut. Niscaya anda akan menemukan titik terang bahwa sebenarnya ini adalah perintah TUHAN. 

Banyak sekali dalam Al qur’an kata kata retoris yakni pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Afala ta’qiluun? afala yatadabbaruun? afalaa tatafakkaruun? namun bila di zoom lebih dekat sebenarnya kalimat itu bukanlah pertanyaan namun lebih kepada sindiran. Sindiran kepada manusia yang telah diberikan modal “berlian” namun ia tanggalkan dan mensia-siakannya. 

Kapasitas atau kehandalan itu adalah sesuatu yang sifatnya terbatas terlepas seberapa luas segementasi kapasitas tersebut. Namun daya fikir itu adalah sesuatu yang tak terbatas. Apakah sesuatu yang terbatas itu mengalahkan yang tak terbatas. Hingga akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa Allah menurunkan fikir dan hati itu sudah sangat lebih dari cukup untuk menjadi pemimpin teritori, pemimpin di bumi atau bahkan pemimpin di semesta. Itu semua sangatlah mungkin dilakukan dalam kapasitasnya sebagai khalifah.

Bila ketiga hal tersebut sudah tumbuh, ternyata masih ada satu nganga yang perlu ditutup untuk lebih disempurnakan. Value yang tepat untuk menyempurnakan itu bernama “self orientation”. 

Self orientation ini menjadi sumber energi pada siapapun yang hendak bergerak. Bila ingin bergerak selama 5 menit maka pilihlah sumber energy sebesar 5 menit, bila ingin bergerak selama 5 tahun maka pilihlah sumber energy selama 5 tahun saja. Bila kau inginkan bergerak selama 1 abad lamanya maka pilihkan sumber energy yang sebanding dengan itu. Namun kau bila ingin bergerak selama mungkin maka pilihlah generasi yang menjangkau lintas batas usia, waktu, decade, atau bahkan abad. 

Sumber energy yang tak terbatas itulah yang disebut sebagai agama. Agama itu menjadi pelontar untuk lebih kencang dalam berlari. Namun agama itu juga bukan berarti slogan yang diawang awang. Namun haruslah diperas peras menjadi makhluk nyata bukanlah bayang bayang semata. Apakah kehendak tuhan yang paling utama untuk manusia. Disitulah kita berangkat.

Pandanglah sejenak dentuman jiwa sang umar bin Abdul azis ini:

“Sesungguhnya aku memiliki jiwa yang berkeinginan sangat kuat, aku bercita-cita untuk tegaknya khilafah maka saya memperolehnya, aku menginginkan menikahi putri seorang khalifah maka aku mendapatkannya, aku bercita-cita menjadi khalifah maka aku mendapatkannya, dan aku sekarang menginginkan surga maka aku berharap untuk mendapatkannya.”

Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, "Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian." 

Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah." Sahabat itu kelak kita kenal dengan nama Abu Ubaidah bin Jarrah. Umar kemudian melanjutkan cita cita yang lebih baik dari itu ialah “seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."

Ke 4 hal tersebut diatas bila diformulakan akan tampak seperti ini:

(Credibility + inctimacy + reability)/ Self Orientation

Bila kita sudah uji cobakan hal tersebut ke dalam diri kita maka siap siaplah menanggung resikonya.-)

Bila di dalam masa nabi nabi ada yang disebut sebagai zaman “fatrah” atau zaman terputus kenabian. Minimal rumus kepemimpinan diatas dengannya kita bisa menghilangkan zaman terputusnya kepemimpinan. Ending of the game nya adalah kepemimpinan semesta. Pada akhirnya jadilah ia firdaus di bumi asia. InsyaAllah.***

*penulis: @hudan_vote on twitter

:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :: 
Klik Download App BB | Klik Download App Android

Senin, 29 April 2013

"20 Tahun Lalu untuk Semangat Hari ini"

Hulma Yuwelni
Singguling

Walaupun belum seberapa dibanding jihad saudara-saudara kita di Palestina yang rasanya jauuh sekali. Tapi dibanding jihad diri hari ini lumayan besar disaat itu. Yang saya inginkan adalah mengingatkan diri, bahwa kemudahan  ternyata tidak berbanding lurus  dengan semangat untuk terus beraktifitas.

20 tahun lalu kami sekeluarga tinggal di sebuah desa,  Singguling, kurang lebih 45 km utara Padang. Di masa itu kendaraan yang ada adalah bendi, itupun kalau masih siang, kalau sudah sore tidak ada lagi, dan  Subuh belum ada apalagi kalau sebelum Subuh. Alhamdulillah transportasi Padang-Bukit Tinggi-Pekan Baru cukup lancar, itulah kendaraan yang sangat bermanfaat di saat itu.

Hubungan komunikasi juga belum selancar sekarang tapi kok komunikasi lebih  nyambung ya. Dengan memanfaatkan wartel yang masih 1-2 komunikasi sangat efektif sekali. Untuk acara pekanan sudah tetap, kalau untuk acara insidentil  ada saja ikhwan pakai motor menyampaikan secarik kertas  pesan, dan tanpa banyak tanya kita mampu menjalankan agenda dakwah.

Awal 1993, ketika itu kami  baru saja punya bayi, anak kedua yang dilahirkan sebelum Shubuh tanggal 23 Januari 1993. Dari pukul  12.00 malam sudah mulas  setiap 30 menit sekali, pukul 04.00 sudah tidak tertahankan mulas, saya bangunkan abinya. Tanpa fikir panjang abinya berlari ke rumah neneknya (0,5 km) di mana sepupunya yang bidan desa tinggal. Tapi kebetulan ibu mertua saja yang ada di situ, mertua  saya datang untuk ambil anak pertama kami, dan abinya langsung berlari lagi ke tempat praktek sepupunya yang berjarak kira-kira 1,5 km. Bagaimana bisa dia ke rumah kami sedang dia lagi menangani pasien yang melahirkan juga.

Abinya juga tidak memikirkan apa-apa lagi langsung berbalik dan menjemput saya, yang saya ingat pada waktu itu saya  berjalan dipapah abinya berjalan sejauh 1,5 km dalam keadaan setengah sadar, Alhamdulillah ada penerangan dari truk yang lewat dari mengambil kerekel ke sungai. Subhanallah begitu sampai ke kamar bersalin lahirlah putri kami kedua  tepat setelah adzan Subuh, begitu diadzankan dan diiqamatkan di telinga kiri dan kanan dalam kondisi mandi keringat juga abinya shalat Subuh. Cuaca yang cukup dingin di perkampungan itu menjadi sangat panas kami rasakan namun tetap bahagia sekali. Putri ini kami namai dengan Annisa udz-Zakiyah, sekarang sudah kuliah. Alhamdulillah…

Demikian sulit untuk transportasi, pergi bersalin, pagi buta , tidak ada kendaraan dijalani tanpa keluh kesah, enjoy saja tapi hari ini banyak kendaraan dan komunikasi lancar masih juga ada alasan untuk malas  pergi liqo` maupun mengisi liqo. Itu yang ingin dingatkan pada diri ini, keadaan ke depan belum tentu lebih baik, namun syurga memang hanya bisa didapatkan dengan pengorbanan, Jihad fii Sabilillah.

20 tahun lalu untuk liqo kami sampai bawa 3 anak di perut, digendong dan dibimbing juga ada. Dengan naik angkutan umum pernah berdiri sejauh 40 km lebih juga pernah dijalani. Sekali lagi diri ini menjalani dengan mudah dan senang, hari ini selain banyak fasilitas, diri ini tidak lebih giat? Apa yang salah? Ternyata semangat jihad tidak berbanding lurus dengan fasilitas dan  kemudahan yang ada. Allahumma ya Rabbi ampuni hambbaMu yang dhaif ini.

Kami mendambakan syurgaMu namun hari demi hari kami jalani semakin enak, namun masih belum membuat kami beraktifitas lebih baik. Ukhuwah pun kadang tak indah, kadang kami tidak puas dengan saudara kami padahal belum tentu kami lebih baik dibanding saudara kami. Kadang juga aib saudara kami kami umbar ke orang banyak padahal belum tentu aib kami lebih sedikit disbanding saudara kami. Ampunilah hambaMu ini, ampunilah kami Ya Rabb....

Wallahu `alam bissawab


:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :: 
Klik Download App BB | Klik Download App Android

Kamis, 18 April 2013

Jangan sampai mendapat "lemparan kecil" dari Allah swt.

Seorang mandor bangunan yang berada di lantai 5 ingin memanggil pekerjanya yang lagi bekerja dibawah.. Setelah sang mandor berkali-kali berteriak memanggil, si pekerja tidak dapat mendengar karena fokus pada pekerjaanya dan bisingnya alat bangunan.. Sang mandor terus berusaha agar si pekerja mau menoleh keatas, di lemparnya uang. 1.000-an rupiah yang jatuh tepat di sebelah si pekerja..Si pekerja hanya memungut uang Rp 1.000 dan melanjutkan pekerjaanya..

Sang mandor akhirnya melemparkan Rp 100.000 dan berharap si pekerja mau menengadah "sebentar saja" ke atas.. Akan tetapi si pekerja hanya lompat kegirangan karena menemukan uang Rp 100.000 dan kembali asyik bekerja.. Pada akhirnya sang mandor melemparkan batu kecil yang tepat mengenai kepala si pekerja.. Merasa kesakitan akhirnya si pekerja baru mau menoleh ke atas dan dapat berkomunikasi dengan sang mandor.....

Cerita tersebut diatas sama dengan kehidupan kita,ALLAH selalu ingin menyapa kita,akan tetapi kita selalu sibuk mengurusi "dunia" kita. Kita di beri rejeki sedikit maupun banyak, sering kali kita lupa untuk menengadah bersyukur.. !!!!!Bahkan lebih sering kita tidak mau tau dari mana rejeki itu datangnya····

Bahkan kita selalu bilang····· kita lagi "HOKI!"Yang lebih buruk lagi kita menjadi takabur dengan rejeki milik ALLAH .

Jadi jangan sampai kita mendapatkan lemparan "batu kecil" yang kita sebut musibah! agar kita mau menoleh kepada ALLAH.

Guru sekolah dasar

Selasa, 16 April 2013

Intermezzo Empat Khalifah

Oleh Yoan

Kisah perjalanan empat khalifah yang masyhur dengan julukan khulafaur-rasyidin merupakan satu fase perjalanan sejarah yang sepantasnya menjadi cermin dari frame work kerja dan perjuangan kita saat ini. 


Abu Bakr Ashshiddiq ra, ‘Umar bin Khaththab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra, ialah empat mutiara islam hasil sepuhan langsung tangan Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam. Empat karakter mutiara ini telah Allah tetapkan untuk memimpin empat fase kekhalifahan yang berbeda, uniknya perbedaan ini telah diatur betul oleh Allah subhanallahuta’ala sehingga mix-match dengan masing-masing pribadi. 

Mari kita singgah sekejap pada perlayaran singkat Abu Bakr Ashshidiq;

Masa kekhalifan orang terdekat Rasulullah ini hanya berjalan dua tahun tiga bulan, tapi sesungguhnya warisan penting dari waktu singkat tersebut ialah penjagaan mabda’ (prinsip dasar) ajaran islam dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar.

Hal ini terlihat dari tiga hal penting yang menjadi concern utama sang Khalifah, yaitu:

1.    Pemberantasan para murtad

2.    Pemberantasan para nabi palsu di Yaman, seperti Musailamah dan Thulaihah Al-Assady

3.    Memerangi para muslim yang enggan membayar zakat

Paska wafatnya Rasulullah sebagian bangsa Arab menyatakan terang-terangan bahwa mereka murtad disamping ada pula yang tetap islam namun menolak membayar zakat. Inilah masa transisi yang sulit setelah sosok panutan tidak lagi ada di tengah-tengah mereka. Menjadi catatan penting untuk kita dewasa ini, bahwa boleh-boleh saja terinspirasi dari siapa pun, tapi ingat lah bahwa jasad itu tidak utuh, ada pun esensi dari content kebaikan itulah yang sejati. Maka jangan semata-mata figuritas yang membuat kita kukuh, lalu ketika ia hilang kita pun loyo.

Dan masa transisi ini harus dilewati Abu Bakr dengan tegas., sebagaimana akhirnya beliau melancarkan perang terhadap para murtad dalam peristiwa habrur-riddah dengan memberangkatkan 12 kompi dalam satu hari. Setegas itu pula sikap Abu Bakr ketika menghadapi para pembangkang yang masih minta-minta kompromi dalam perkara zakat. Hingga terjadi pertempuran tak imbang antara pasukan Abu Bakr yang sedikit dan pasukan pembangkang yang banyak. Namun atas izin Allah terhadap keteguhan semangat Abu Bakr untuk mempertahankan prinsip dasar islam, pasukan mukmin menang telak dalam pertempuran dahsyat tersebut.

Inilah cermin berpikir yang jauh dan dalam. Walau pun sebagian ulama pada saat itu termasuk Umar pada awalnya tidak sepakat dengan sikap Abu Bakr untuk memerangi pembangkang karena keislaman mereka, namun Abu Bakr tetap dengan pendiriannya. Sikap ini adalah bentuk konsistensi memelihara fikrah islam demi pewarisan yang benar terhadap generasi selanjutnya. Ia utamakan keutuhan ajaran islam yang sempurna, daripada memelihara keutuhan kuantitas kaum muslimin dan negera namun tanpa fikrah islam yang utuh. Coba bayangkan seandainya saat itu Abu Bakr bertoleransi soal zakat? Barangkali saat ini kita jadi  punya alasan untuk menjadikan zakat sebagai kisah harmoni masa lalu saja, tanpa pengamalan. Semoga Allah memberkahi keteguhan Abu Bakr.

Saat Abu Bakr merasakan ajalnya kian dekat, ia memanggil para sahabat untuk bermusyawarah perihal rencananya untuk mengangkat ‘Umar bin Khaththab sebagai khalifah selanjutnya. Banyak para sahabat yang tidak sepakat dengan pengangkatan Umar, namun setelah Abdurrahman bin ‘Auf menyampaikan tanggapannya bahwa, “kami tidak mengenal engkau (Abu Bakr) kecuali menginginkan yang terbaik, dan engkau tetap sebagai orang yang baik dan suka memperbaiki!” Barulah para sahabat tersadar.

Setelah Abu Bakr mantap betul dengan kerelaan orang muslim terhadap Umar, Abu Bakr membai’at Umar di hadapan kaum muslimin. Setelah peneguhan janji itu, Abu Bakr berwasiat pada Umar, sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku mengangkatmu sebagai khalifah sepeninggalku. Hendaklah engkau BERTAQWA KEPADA ALLAH. Sesungguhnya Allah mempunyai amal malam hari yang tidak Dia terima pada siang hari dan amal siang hari yang tidak Dia terima pada malam hari. Dia tidak menerima ibadah sunnah sampai ibadah fardhu dijalankan. Bila engkau memelihara wasiat ini, maka tidak ada KEGAIBAN yang lebih engkau cintai selain KEMATIAN, sedang ia akan menimpamu. Dan jika engkau mengabaikan pesanku, maka tidak ada kegaiban yang lebih engkau benci selain kematian itu sendiri. Dan aku tidaklah mengalahkan Allah.”

Tak ada salahnya, jika wasiat ini turut kita jadikan pegangan, meski terkhusus Abu Bakr berikan pada Umar. Terlebih saat dakwah memasuki era menuju B3SAR ini. sebagaimana Abu Bakr paham betul, soal  strategi bernegara, taktik politik, dll, tak perlu diwasiatkan, karena ia akan muncul dengan alaminya, namun PESAN KETAQWAAN, itulah sebaik-baiknya wasiat. Segala macam jalan kemudahan bernegara bagi Abu Bakr hanya dapat muncul dengan satu modal dasar, yaitu taqwal-quluub¸taqwa kepada Allah subhanallahuta’ala.

Menjelang kematiannya, Abu Bakr menghadapi sakratul maut didampingi putri tercintanya, A’isyah ra, persis seperti yang dilalui oleh sahabat terkasihnya, Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam. Saat A’isyah mendendangkan satu buah sya’ir, Abu Bakr dengan ruhul-qur’an nya justru melantunkan sepenggal ayat ke 19 dari surah Qaaf;

“Dan datanglah sakratul-maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”

Kemudian melayanglah ruh Mujahid sejati ini, sedang tutur terakhirnya adalah:

“Ya Rabbi, matikanlah aku dalam keadaan muslim dan pertemukanlah aku dengan orang-orang shalih.”

Berakhirlah hidup Abu Bakr di pentas dunia nan fana ini, sementara satu amalnya, kata Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam, tak mampu menyamai amal seluruh kalian. Hingga Umar nan gagah pun menetes air mata beningnya, seraya berucap:

“Wahai Abu Bakar, engkau telah menjadikah khalifah sesudah engkau susah untuk menirumu!”

(bersambung)

@yoan_dolang

Medan, 15-4-2013

:: PKS PIYUNGAN | BLOG PARTAI KEADILAN SEJAHTERA :: 
Klik Download App BB | Klik Download App Android

Sabtu, 13 April 2013

Tadharru' (penuh pengharapan)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moch Hisyam

Pada suatu malam di pelataran Ka’bah, Thawus bin Kisan ra mendapati Ali bin Husein -yang lebih dikenal dengan Zainul Abidin ra- sedang bermunajat kepada Allah SWT.

Dengan penuh pengharapan (tadharru’), terdengar ia merendahkan dan menghinakan dirinya diiringi dengan deraian air mata bermohon agar Allah SWT memberikan ampunan kepadanya.

Setelah Ali bin Husein menyelesaikan munajatnya, Thawus menghampiri. Ia berkata, "Wahai cucu Rasulullah SAW, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain.

Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah SAW. Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW. Dan ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu."

Mendengar pernyataan Thawus itu, Ali bin Husein menjelaskan semuanya bukan jaminan ia akan mudah mendapatkannya.

Beliau berkata, "Ketahuilah hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan jaminan keselamatanku di akhirat sana setelah aku mendengar firman Allah SWT, ‘Apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya’." (QS al- Mukminun [23]: 101).

Sedangkan syafaat Nabi SAW, maka Allah SWT berfirman, "Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (QS al-Anbiya` [21]: 28).

Dan terakhir, terkait rahmat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf [7]: 56).

Kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk bersikap tadharru’ (penuh harap dan merendahkan diri) dalam beribadah kepada Allah SWT, terutama ketika sedang berdoa.

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri (penuh harap) dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS al-A’raf [7]: 55).

Tadharru’ merupakan akhlak dan etika yang harus kita bangun ketika membina hubungan dengan Allah SWT. Hal ini kita lakukan sebagai wujud penghambaan diri kita kepada Zat Penguasa alam semesta, Allah SWT.

Tadharru' mengandung makna tadzallul (kerendahan dan kehinaan diri) dan istiqamah (ketundukan diri). (Jami’-ul bayan ‘an ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari).

Oleh karena itu, ketika kita ber-tadharru’ kepada Allah SWT, akan menumbuhkan kesungguhan dan kekhusyu'an dalam beribadah dan berdoa serta menjadi sebab Allah SWT akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.

Mari kita renungi penjelasan Imam Ahmad bin Hambal ketika mendeskripsikan 'tadarru' agar kita dapat bersikap tadharru'.

Beliau berkata, "Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung."

"Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, "Ya Tuhan ku, Tuhanku!"

Bayangkanlah betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan Tuhan. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Tuhan."

Guru sekolah dasardasar

Selasa, 02 April 2013

Ibuku

Kau telah membesarkanku
Bersusah payah melahirkanku
Kau merawatku hingga seperti ini
Sekarang aku tlah mengerti

Ibu kau besarkan anak-anakmu
Selalu tersenyum
Walau kesusahan melandamu
Betapa besar kesabaranmu

Hingga aku dan saudaraku
Meraih cita-cita impianku.

Buay pena : Puspita Dewi (3 Mina SDIT CORDOVA TANGERANG)
Editor : pa ghofur